Doc.matas 13. HUKUM WANITA KELUAR RUMAH TANPA
MUHRIM
Oleh Jubir Matas pada 30 April 2014
pukul 7:02
HUKUM WANITA KELUAR RUMAH TANFA MUHRIM
Gusmed El Samany
Mohon definisi nya, ustd we ustdzah,bila
seorang wanita keluar dari rumah tanpa muhrimnya,sebagaimana bebasnya di
Indonesia umumnya.mohon rinciannya secara agama Dan umumnya.....,
jawaban :
Lutfi Jaya Bisa kita saksikan kenyataan di sekitar kita, semakin
banyak kaum Muslimah mengadakan safar tanpa didampingi oleh mahramnya. Amalan
semacam ini tak lain hanya akan membawa kebinasaan bagi wanita tersebut baik di
dunia maupun di akhirat. Karena itu agama Islam yang hanif memberikan benteng
kepada mereka (kaum Muslimah) dalam rangka menjaga dirinya, kehormatannya, dan
agamanya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Janganlah wanita melakukan safar selama 3 hari kecuali bersama
mahramnya.” (Hadits shahih, dikeluarkan oleh Bukhari 2/54, Muslim 9/106, Ahmad
3/7, dan Abu Dawud 1727)
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan
hari akhir melakukan safar (bepergian) selama satu hari satu malam yang tidak
disertai mahramnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah,
dan Ahmad)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya ia mendengar
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Janganlah seorang wanita
melakukan safar kecuali bersama mahramnya dan janganlah seorang laki-laki masuk
menjumpainya kecuali disertai mahramnya.” Kemudian seseorang bertanya : “Wahai
Rasulullah ! Sungguh aku ingin keluar bersama pasukan ini dan itu sedangkan
istriku ingin menunaikan haji.” Maka bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam : “Keluarlah bersama istrimu (menunaikan haji).” (Dikeluarkan hadits ini
oleh Muslim dan Ahmad)
Asy Syaikh Abi Maryam menyebutkan dalam bukunya Al Manhiyat Al
‘Asyr li An Nisa’ bahwa hadits-hadits yang menyebutkan tentang batasan safar
bagi wanita tanpa mahram berbeda-beda. Ada yang menyebutkan “selama sehari
semalam”, ada pula yang menyatakan “tiga hari”, dalam riwayat lain dikatakan
“selama tiga malam”, sedangkan dalam riwayat Abu Dawud disebutkan “selama satu
barid” yakni perjalanan setengah hari.” Dalam hal ini ulama mengatakan bahwa
perbedaan tersebut terjadi karena berbedanya orang yang bertanya dan berbedanya
negeri tempat tinggal. Namun demikian tidak berarti bahwa larangan yang
gamblang hanya selama 3 hari sedangkan yang kurang dari itu dibolehkan.
Al ‘Allamah Al Baihaqi juga mengomentari hal ini dengan ucapan
beliau : “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam seolah-olah ditanya tentang
wanita yang melakukan safar selama tiga hari tanpa mahram, lalu beliau menjawab
tidak boleh dan beliau ditanya tentang perjalanannya (safar) selama dua hari
tanpa mahram kemudian beliau menjawab tidak boleh, demikian pula halnya tentang
perjalanannya sehari atau setengah hari beliau tetap menjawab tidak boleh.
Kemudian setiap dari mereka mengamalkan apa yang didengarnya. Oleh karena itu
hadits-hadits yang dibawakan dari satu riwayat dengan lafadh yang berbeda
berarti hadits tersebut didengar di beberapa negeri, maka perawinya
kadang-kadang meriwayatkan yang ini dan kadang-kadang meriwayatkan yang itu dan
semuanya adalah shahih.” (Syarhul Muslim li An Nawawi 9/103)
Imam Ahmad rahimahullah berkata bahwasanya bila wanita tidak
mendapati suami atau mahram yang menemaninya, maka tidak wajib baginya
menunaikan haji. Ini sesuai dengan perkataan ulama Ahlul Hadits yang
sebelumnya, demikian pula perkataan Al Hasan Al Bashri, Ibrahim An Nakha’i,
Ishaq bin Rahuyah dan Ats Tsauri.
Imam Al Baghawi mengatakan : “Ulama sepakat bahwa dalam perkara
yang bukan wajib tidak dibolehkan bagi wanita melakukan safar kecuali disertai
oleh suami atau mahram yang lain, terkecuali wanita kafir yang telah masuk
Islam di negeri musuh atau tawanan wanita yang telah berhasil meloloskan diri
dari tangan-tangan orang kafir, mau tidak mau ia harus keluar dari lingkup
mereka dengan tanpa mahram, walaupun ia seorang diri bila tidak merasa takut.”
(Syarhus Sunnah 7/20)
Yang lainnya menambahkan : “Atau wanita yang tertinggal dari
rombongannya/tersesat, lalu ditemukan oleh seorang laki-laki yang bukan mahram
yang dapat dipercaya, maka boleh bagi laki-laki tadi menemaninya hingga ia
mendapatkan rombongannya kembali.” (Syarhus Sunnah 7/21)
Mahram Bagi Wanita
Abu Maryam dalam bukunya Al Manhiyat mengatakan : “Mahram bagi
wanita adalah siapa saja yang diharamkan menikah dengannya secara mutlak
(selamanya) seperti ayah, saudara laki-laki, keponakan laki-laki, dan yang
dihukumi sama dengan mereka melalui susuan, demikian pula suami dari
putri-putrinya (menantu) yang telah bercampur dengan mereka (yakni menantu
tersebut telah melakukan jima’ dengan putrinya sebagaimana layaknya suami
istri). Termasuk dalam hitungan mahram bagi wanita adalah suaminya.” (halaman
68)
Adapun laki-laki yang sewaktu-waktu menjadi halal menikah
dengannya seperti budak atau saudara iparnya maka mereka ini tidak termasuk
mahram karena tidak dianggap aman terhadapnya dan tidak haram baginya untuk
selama-lamanya, maka mereka ini dihukumi seperti orang lain.
Imam Ahmad pernah ditanya : “Apakah anak-anak (laki-laki) bisa
dijadikan mahram?” Beliau menjawab : “Tidak, hingga ia mencapai usia baligh
karena ia belum dapat mengurus dirinya sendiri maka bagaimana ia dipercaya
keluar mengantar seorang wanita. Hal itu karena mahram berfungsi sebagai
penjaga bagi wanita tersebut dan ini tidak didapatkan kecuali dari orang yang
baligh dan berakal.”
Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi mengomentari pernyataan di atas
dengan mengatakan bahwa ucapan yang mengatakan disyaratkannya lelaki yang
baligh dan berakal sebagai mahram bagi wanita di dalam safar, alangkah baiknya
jika disempurnakan dengan menambahkan syarat berikutnya yaitu memiliki bashirah
(ilmu dien), sehingga jadilah syarat itu : Baligh, berakal, dan memiliki
bashirah.
Jumhur (mayoritas) ulama dari keempat mazhab mengharamkan seorang perempuan pergi umroh atau haji tanpa ditemani suami atau mahramnya (lihat, ). Namun ada sebagian pendapat dalam mazhab Syafi'i yang membolehkan hal tersebut dengan syarat (a) ditemani perempuan yang dapat dipercaya; (b) aman dari fitnah. Imam Nawawi dalam Al-Majmuk Syarah Muhazab hlm. 8/342 berkata:
قال الماوردي: ومن أصحابنا من جوَّز خروجها مع نساء ثقات، كسفرها للحج الواجب، قال: وهذا خلاف نص الشافعي، قال أبو حامد: ومن أصحابنا من قال: لها الخروج بغير محرم في أي سفر كان, واجبًا كان أو غيره
ولا يجوز في التطوع وسفر التجارة والزيارة ونحوهما إلا بمحرم. وقال بعض أصحابنا: يجوز بغير نساء ولا امرأة إذا كان الطريق آمنًا. وبهذا قال الحسن البصري وداود، وقال مالك : لا يجوز بامرأة ثقة : وإنما يجوز بمحرم أو نسوة ثقات
ولا يجوز في التطوع وسفر التجارة والزيارة ونحوهما إلا بمحرم. وقال بعض أصحابنا: يجوز بغير نساء ولا امرأة إذا كان الطريق آمنًا. وبهذا قال الحسن البصري وداود، وقال مالك : لا يجوز بامرأة ثقة : وإنما يجوز بمحرم أو نسوة ثقات
Artinya: Al-Mawardi berkata: Sebagian ulama mazhab Syafi'i membolehkan keluarnya wanita dengan beberapa perempuan yang dapat dipercaya seperti dalam perjalanan untuk haji wajib. Al-Mawardi berkata: Ini berbeda dengan pendapat Imam Syafi'i. Abu Hamid Al-Ghazali berkata: Sebagian ulama mazhab Syafi'i berpendapat: Boleh bagi wanita untuk keluar tanpa mahram dalam perjalanan apapun baik perjalanan wajib atau lainnya.
Tidak boleh dalam haji sunnah dan perjalanan bisnis, ziyarah, dan lainnya kecuali dengan mahram. Sebagian ulama mazhab Syafi'i berkata: Boleh melakukan perjalanan tanpa ditemani banyak wanita atau satu wanita apabila jalannya aman. Pendapat ini didukung oleh Hasan Al-Basri dan Dawud. Malik berkata: Tidak boleh kalau hanya dengan satu wanita. Yang boleh apabila dengan mahram atau banyak wanita.
Tidak boleh dalam haji sunnah dan perjalanan bisnis, ziyarah, dan lainnya kecuali dengan mahram. Sebagian ulama mazhab Syafi'i berkata: Boleh melakukan perjalanan tanpa ditemani banyak wanita atau satu wanita apabila jalannya aman. Pendapat ini didukung oleh Hasan Al-Basri dan Dawud. Malik berkata: Tidak boleh kalau hanya dengan satu wanita. Yang boleh apabila dengan mahram atau banyak wanita.
MUSYAWWIRIN :
Member Group Majlis Ta'lim Assalafiyah ( MATAS )
PENELITI : (1). Ustadz Alfin Jayani (2). Ach al faroby (3).
Ustadz Sultoni Arobbi (4). Ustadzah Naila Mazaya Maya (5). Ustadz Abu Shafa (6)
Ustadz Abdul Ghafur Masykur (7) Ustadzah Mariyatul Qibtiyah 8. Ustad Alan Rush
9. Ustad Lutfijaya
EDITOR : Ustadz Sultoni Arobbi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar