Rabu, 26 Agustus 2015

Doc.matas 06. HUKUM UANG HASIL WARNET

Doc.matas 06. HUKUM UANG HASIL WARNET

HUKUM UANG HASIL WARNET

 


Jabir Bayora
Assalamu'alaikum,,,,,saya mau nanya masalah WARNETsekarang ini yg namanya WARNET sudah ada dimana2dan siapa saja yg menggunakan warnet dalam 1 jamkita harus bayar kurang lebih Rp,3000 yg jelas pemilik...Lihat Selengkapnya— di Toronto, Canada.

jawaban : 

Internet sendiri, penggunaannya semakin meluas, mulai dari anak di bawah umur sampai orang dewasa, bahkan orang tua. Tidak heran jika hal ini menjadi peluang usaha yang cukup menjanjikan. Semakin banyak orang yang membutukan internet, maka warnet (warung internet) pun semakin menjamur.

Pada dasarnya warnet disediakan untuk membantu menjelajahi dunia maya, sedang apa yang ada di dunia maya tersebut ada yang baik dan ada yang buruk, ada maslahat dan ada pula maksiyat. Demikian pula si pengguna warnet, mereka tidak hanya orang-orang yang baik dengan niat baik, tapi ada pula orang-orang yang berniat tidak baik. Lantas bagaimana fiqh memotret fenomena ini?
Dimulai dari transaksi penggunaan warnet, dalam literatur fiqh, transaksi ini masuk dalam kategori akad ijârah (sewa). Pengertiannya, ijârah adalah memberikan kemanfaatan dengan menerima ganti/upah dan dengan syarat-syarat tertentu. (Fathul Mu’in, III, 129, Hâsyiyah al-Jamal, XIV, 308)
Adapun syarat-syarat tersebut, Pertama, barang/jasa yang disewakan harus diketahui oleh kedua belah pihak. Dalam konteks ini berupa layanan jasa internet bagi user (pengguna). Kedua, biaya/upahnya harus transparan. Tarif penggunaan internet harus transparan, yaitu biaya perjamnya sudah ditentukan dan dihitung berdasarkan durasi waktu yang ada. Dan yang terakhir, rentang waktu pemanfaatan barang yang disewakan harus jelas (diketahui oleh kedua belah pihak) karena waktu ditunjukkan oleh mesin penghitung maka keduanya sama-sama mengetahui tentang waktu pemakaianya (Tuhfatul Fuqahâ’, II, 347)

Selain itu, ijârah memiliki beberapa rukun yaitu shighat, ujrah, manfaat dan ‘aqid. Shighat adalah ijab qabul. Bentuk shighat secara umum memang harus melalui lisan tapi bisa juga menggunakan isyarat, tulisan atau kebiasaaan yang sudah dimaklumi oleh kedua belah pihak (Asna al-Mathallib, XII, 77). Rukun yang pertama kiranya sudah terpenuhi karena ketika operator warnet menyediakan warnetnya, berarti sudah menyatakan warnetnya ini disewakan. Kemudian dari pihak user, dirinya masuk ke dalam warnet dan menggunakan, disertai dengan mengetahui besar biaya pembayarannya, menunjukkan bahwa dia setuju dengan penyewaan itu.
Kedua, ujrah (upah/biaya sewa) disyaratkan harus diketahui oleh keduanya juga (Raudlatu at-Thalibin, II, 206). Ketiga, adanya manfaat (kegunaan benda yang disewakan). Adapun syarat dari pemanfaatan barang tersebut harus merupakan barang yang bernilai, tidak habis ‘ain-nya (bendanya) bila dipakai, dan manfaatnya harus sampai kepada penyewa. (Raudlatu at-Thalibin, II, 207-208). Keempat yaitu aqid, meliputi mu’jir (orang yang menyewakan) dan musta’jir (orang yang menyewa). Keduanya harus berakal dan baligh. Jadi kesimpulannya, mu’jir dan musta’jir tidaklah boleh orang yang tidak berakal seperti orang gila dan tidak pula orang yang belum baligh seperti anak kecil.(Raudlatu at-Thalibin, II, 206)

Kemudian bagaimana hukum menyewakan warnet tersebut, padahal ada potensi digunakan untuk kemaksiatan? Begini, jika pemilik berkeyakinan atau mempunyai dugaan kuat akan digunakan untuk kemaksiatan, maka haram menyewakannya. Tapi jika operator warnet masih syak (ragu) akan digunakannya untuk proses kemaksiatan, maka makruh hukumnya, tapi kalau telah diketahui sudah banyak terjadi kemaksiatan maka hukumnya berubah menjadi haram secara mutlak dikarenakan saddan lidz dzarâi’ (mencegah sebelum terjadi). (Bughyatul Mustarsyidin, 126).

Selanjutnya, bagaiman hukum operator warnet mengawasi para user untuk memastikan adanya kemaksiatan di dalam bilik warnet? Mengenai ini, hukumnya di-tafshil (dirinci). Jika operator warnet meyakini atau menduga kuat bahwa ada unsur kemaksiatan, maka wajib untuk mengawasi dan mengingatkan konsumen untuk tidak melakukan hal tersebut seperti melakukan perbuatan mesum atau menonton film berbau porno. Ini dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Namun, bila tidak diyakini atau diduga kuat, maka operator warnet tidak diperkenankan memantau para konsumen. Hal ini didasarkan pada belum jelasnya kemungkaran yang terjadi di dalam warnet. Dan bisa-bisa ini akan menimbulkan tajassus (membahas dan meneliti aib orang lain). (Sulam at-Taufiq, 79, Bughyatul Mustarsyidin, 250; I’anatu at-Thalibin, IV, 308; Ihya’ Ulum ad-Din, IV, 389; Al Bajuriy Ala Ibnil Qasim Al Ghaziy, II, 04).

Nah, kalau sudah diketahui terjadi kemaksiatan, lalu apakah si pemilik warnet ikut bertanggung jawab, padahal dia belum tentu tahu tentang adanya kemaksiatan tersebut? Memang, kemaksiatan di negeri ini cocok dengan kata pepatah “mati satu tumbuh seribu”. Satu tumbuh, dibasmi, tumbuh lagi, dibasmi, tumbuh lagi. Di saat seperti ini, gimana enggak membuat gerah si pemilik warnet? Secara moral, seharusnya pemilik warnet ikut bertanggung jawab atas semua kelakuan user di warnet miliknya baik itu berupa kelakuan baik maupun tercela. Di sisi lain, kita sebagai konsumen, jangan hanya menyalahkan penyediaan warnet ini. Tetapi yang perlu kita lakukan adalah ikut menjaga kenyamanan dan keamanan di dalam warnet, bukan malah menambah angka kemaksiatan.
Pemilik warnet pun jangan hanya berpangku tangan atau malah acuh tak acuh terhadap maraknya kemaksiatan di warnet miliknya. Apalagi pemilik warnet malah menganggap hal itu sebagai wahana untuk mengeruk keuntungan yang berlipat ganda dengan memfasilitasi user untuk melakukan kemaksiatan, misalnya dengan memberikan bilik yang tertutup rapat sehingga memberikan kesempatan user tanpa malu-malu melakukan kemaksiatan. Jika kemaksiatan di warnet ini dibiarkan, pastinya akan semakin mengakar dan semakin marak.

Sebaiknya sikap yang harus diambil oleh si pemilik warnet adalah senantiasa mengawasi konsumennya. Pencegahan ini tidak harus dengan peniadaan bilik sama sekali, karena bilik juga penting untuk menjaga privasi konsumen itu. Paling tidak, bilik yang dipasang tidak tertutup rapat dan masih memungkinkan bagi penjaga warnet untuk mengontrol dari luar. Penjagaan juga bisa dengan pemasangan CCTV (Closed Circuit Television) di dalam ruangan warnet. Cara ini dianggap ampuh, karena si pemilik bisa mengawasi seluruh isi warnet tanpa harus mengganggu privasi konsumen. Atau bisa juga dengan pemberian software anti-pornografi pada setiap website-website yang dibuka konsumen. Dengan begini kenakalan konsumen yang sering membuka situs-situs porno bisa diminimalisasi. Bukankah lebih baik mendapatkan untung dari sesuatu yang halal dari pada untung banyak tapi dari hasil yang haram? [eLFa]

sumber : http://qudsiyyah.com/2011/05/masuk-warnet-jangan-maksiat/

Atama Paya
Warnet memang banyak manfaatnya,tapi juga tidak sedikit dampak negatifnya,sebab media ini sering juga digunakan untuk melihat hal2 yang dilarang oleh syara', maka hukum penyewaan tsb haram,jika terbukti ato ada dugaan kuat akan digunakan untuk maksiat.

ولا يصح الاستئجار لتعليم التوراة والانجيل والسحر والفحش والنجوم والرمل ...........وسائر المحرمات. ولا يحل اخذ عوض على شيء من ذلك كبيع الميتة.
شروانى ٦/ ١٣٧


و حرم ايضا (بيع نحو عنب ممن) علم او ( ظن انه يتخذه مسكيرا)للشرب......
اعانه ٣/ ٢٩



من اعان على معصية ولو بشطر كلمة كان شريكا له فيها......... اجرة العمل الذى يتعلق بالمعصية حرام والتصدق منها لا يجوز ولا يصح.
مغنى المحتاج ٢/ ٣٣٧


MUSYAWWIRIN :
 Member Group Majlis Ta'lim Assalafiyah ( MATAS )
PENELITI : (1). Ustadz Alfin Jayani (2). Ach al faroby (3). Ustadz Sultoni Arobbi (4). Ustadzah Naila Mazaya Maya (5). Ustadz Abu Shafa (6) Ustadz Abdul Ghafur Masykur (7) Ustadzah Mariyatul Qibtiyah 8. Ustad Alan Rush 9. Ustad Lutfijaya
EDITOR : Ustadz Sultoni Arobbi

link asal :https://www.facebook.com/notes/majlis-taklim-as-salafiyah-al-gasim-matas-/dokmatas-06-hukum-uang-hasil-warnet/299056730255303

Tidak ada komentar:

Posting Komentar