Rabu, 26 Agustus 2015

Doc.matas-04-hukum-tukang-ojek-membawa-wanita-bukan-muhrimnya/299054970255479

       Doc. matas 04. HUKUM TUKANG OJEK MEMBAWA            WANITA BUKAN MUHRIMNYA

       Oleh Jubir Matas pada 29 April 2014 pukul 5:23
  •      
  •     Fahmi Wijaya Alwayszeronine
         asslmkum wr wb..Mhon ma.af sblmya , ad sdkit mslah yg ingn sya tanyakan.. 

         1.bagaimana khukum nya seorg ujek dn mngujek bukan seorg mahrom nya.. 

         2. bgaimana khukum nya seorg ojek memakai spd tdk lengkap/bolong..dn              hasil nya dmakan.
      
          mohon penjelasanya..asslmkum..
    jawaban:
    Lutfi Jaya bismillahirrohmanirrohim.. mengenai pertanyaan yag pertama tentang hukum seorang ojek yg membonceng bukan mahromnya...? Masalah wanita muslimah naik ojek memang sejak dulu selalu timbul dan hingga hari ini belum pernah tuntas. Di satu sisi, ada ketentuan di dalam syariat Islam tentang pergaulan antara laki-laki dan wanita. Salah satunya larangan untuk berduaan, bersentuhan atau saling bersamaan tanpa mahram.

    Jika kendaraan tersebut (ojeg)di atasnya menggunakan, seperti pelana (semacam tempat duduk tersendiri, dengan pegangannya), atau yang sejenis, dimana kalau wanita tersebut naik di belakangnya, dia tidak akan menyentuh pemboncengnya, dan rute perjalanannya di dalam kota, dengan kata lain tidak melintasi kawasan terpencil, maka hukumnya boleh jika memenuhi dua syarat ini: (1) wanita tersebut naik di belakangnya, sementara dia tidak menyentuh pemboncengnya, dan (2) tidak membawanya, kecuali pada rute dimana mata orang bisa memandanginya. Alasannya, karena Rasulullah saw. pernah membawa Asma’ ra. (adik ipar Nabi) di Madinah, tatkala dia memikul beban yang berat di atas kepalanya. Maka, Rasulullah saw. hendak merundukkan untanya agar bisa dinaiki Asma’, namun Asma’ lebih suka melanjutkan perjalanannya, dengan tidak menaiki (unta Nabi). Sudah lazim diketahui, bahwa di atas unta itu ada punuk, dimana yang pertama bisa dinaiki oleh seseorang, setelah itu berikutnya bisa dinaiki di belakangnya, sementara orang yang kedua tidak harus menyentuh orang yang pertama. Punuk tadi ada di antara kedua orang tersebut. Orang yang kedua pun bisa memegang punuk tadi, sesuka hatinya. Dengan kata lain, unta itu merupakan kendaraan yang memungkinkan untuk dinaiki dua orang, dimana satu sama lain tidak harus saling berpegangan.

    Al-Bukhari telah mengeluarkan dari Asma’ bint Abi Bakar berkata:

    وَكُنْتُ أَنْقُلُ النَّوَى مِنْ أَرْضِ الزُّبَيْرِ الَّتِيْ أَقْطَعَهُ رَسُوْلُ اللهِ عَلَى رَأْسِيْ … إِلَى أَنْ تَقُوْلَ “ثُمَّ قَالَ الرَّسُوْلُ إِخْ إِخْ لَيَحْمِلْنِي خَلْفَهُ فَاسْتَحْيَيْتُ …”.

    Saya pernah membawa benih dari tanah az-Zubair (suami saya), yang telah diberikan oleh Rasulullah saw., dipanggul di atas kepala saya… sampai pernyataan beliau: Kemudian, Rasulullah saw. berkata: Ikh, ikh agar beliau bisa membonceng saya di belakangnya, tetapi saya merasa malu..

    Ikh, ikh maksudnya, beliau ingin merundukkan untanya (supaya bisa dinaiki Asma’ di belakangnya).

    Karena itu, jika bagian punggung kendaraan tersebut memang siap untuk dinaiki dua orang, tanpa harus bersentuhan satu sama lain, sementara rute perjalanannya bukan di kawasan sepi (terpencil), maka hal itu boleh (mubah).

    Tetapi, jika tidak (memenuhi dua syarat tersebut), maka tidak boleh (haram). maka bisa ditarik kesimpulan, bahwa naiknya wanita di ojek, dibelakang lelaki (bukan mahram) yang tidak ada sesuatu yang bisa memisahkan tempat duduknya, dalam konteks seperti ini hukumnya tidak boleh (haram). Namun, kalau orang-orang itu ingin membonceng di belakangnya, hendaknya membonceng kaum pria saja, atau membawa kaum wanita tersebut dengan mengendarai kendaraan (seperti motor tossa yang di belakangnya ada gerobak pengangkut, atau becak Aceh), sementara pria pengendaranya membawa mereka. Bukan dengan wanita tersebut naik di belakangnya (ojek), dan memegangi (tubuh pengemudi)-nya, maka ini hukumnya tidak boleh (haram). AllahuA’lam


    Lutfi Jaya bismillahirrohmanirrohim. untuk pertanyaan yang ke dua sebenarnya hampir sama dengan kasus PNS yang pakek souap. Suap PNS Pertama : gaji suap ketika seorang menjadi PNS, hukumnya haram, karena ada keterkaitan sebab dan akibat antara risywah (suap) dan gaji, gaji yang diterima tidak termasuk ujrah (upah), tetapi irzaq, ihsan, atau musamahah (tunjangan/ insentif), atau gaji yang diterima tidak terkait dengan pekerjaan yang dikerjakan, tetapi terkait dengan pengangkatan yang prosesnya melalui suap, dan pengangkatannya dianggap tidak sah atau batil dan itu adalah sebab, sehingga gajinya juga tidak sah/ batil karena itu adalah akibat.

    Beberapa dalil dijadikan landasan hukum ini, salah satunya ayat dalam QS. al-Baqarah: 188)

    Dan janganlah sebagian kamu memakan sebagian harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebahagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.

    Kedua: sebagaimana tidak adanya keterkaitan antara haramnya mencuri sajadah dan sahnya shalat di atas sajadah curian tersebut. Asumsi filosofisnya, bahwa tidak semua sebab buruk menghasilkan akibat buruk pula.

    Para pendukung keputusan hukum ini, mengambil contoh dari kisah Abu Manshur, seorang ulamam Tabi’ Tabi’in, dia pernah berkata: “Saya melihat Syafi’i) di Khurasan berbeda pendapat ketika mendirikan shalat di sebuah rumah rampasan. Apakah shalatnya sah, atau tidak sah karena tidak sahnya tempat shalat, dan sebagian mereka (ulama) mengatakan, hal itu sah.” Dengan kiasan ini kemudian dikorelasikan dengan kesamaan kasus tersebut.

    Dengan melihat dua istinbath hukum di atas, dan dengan mempertimbangkan ketentuan Istinbath dari para ulama semestinya langsung dari sumber primer al-Quran dan Hadis yang cenderung pada pengertian ijtihad mutlak, maka yang paling mendekati kebenaran hukum adalah istinbath yang pertama. Bahwa melakukan suap ketika seorang menjadi PNS, dan suap itu adalah perbuatan yang dilarang dan diharamkan, maka gaji PNS yang demikian juga haram !.semoga bermanfaat amin

    Guslik An-Namiri Afwan, saya kurang sependapat dengan Ustad Lutfi@ yang memutuskan bahwasanya gaji tersebut hukumnya haram seperti koment yang diatas ( == Ustd Lutfi@ : gaji suap ketika seorang menjadi PNS, hukumnya haram, karena ada keterkaitan sebab dan akibat antara risywah (suap) dan gaji == )  alasan saya ketidak setujuan dengan pendapat antum yang mengatakan : bahwasanya gaji suap ketika menjadi PNS adalah haram. Menurut saya: Gaji yang telah diterima dari hasil kerjanya dari seorang PNS tersebut hukumnya halal. Dengan syarat selama dalam aktifitas bekerjanya tidak ada hal hal yang dilarang dalam agama, seperti bolos kerja. Sedangkan masalah hukum suap menyuapnya rinciannya sebagai berikut: (1). Berdasarkan dalil Al_Qur'an dan As_Sunnah, Majlis memutuskan tentang haramnya. Kegiatan suap menyuap karena didalamnya terdapat kerusakan yang dapat merugikan hak orang lain dengan cara bathil (menyimpang dari ajaran islam) sebagaimana yang banyak terjadi di Negara kita ini.(2). Apa bila menyuap dengan alasan untuk menghilangkan kerusakan atauKemudharatan atau untuk memperoleh haknya dengan menghilangkan kedzaliman. Maka dalan hal ini diperbolehkan menyuap dan bagi penerima suap tetam haram hukumnya.(3). Bahwasanya gaji dari hasil suap termasuk halal, selama mematuhi peraturan peraturan yang berlaku (dimana ia bertugas) dan tidak menyelewengkan kewajiban dan tanggung jawab sebagai pegawai. Dasar pengambilan saya dalam kitab Nailul Marom:

     “ الرشوة ان كانت ليحكم بها الحاكم بغير حق فهي حرام على الأخد والمعطى , وان كانت ليحكم له بالحق على غريمة فهي حرام على الحاكم دون المعطى . نيل المرام شرح بلوع المرام من ادلة الأحكام , صحيفة : 174 

    Kemudian dijelaskan lagi dalam kitab Al_Halal wal Haram : 

    من كان له حق مضيع لم يجد طريق للوصول اليه الا بالرشوة , فالأفضل له أن يصبر حتى ييسر الله له أفضل السبيل لرفع الظلم , ونيل الحق . فان سلك سبيل الرشوة من اجل ذلك , فالاثم على الأخد المرتشى ليس عليه اثم الراشى فى هذه الحالة. الحلال والحرام فى الاسلام . الدكتور الشيخ يوسف القرضاوي
    . Jadi poinnya kesimpulannya menurut saya adalah: Kesimpulannya, apabila seseorang yang ingin menjadi PNS, sedangkan persyaratannya sudah terpenuhi, pelamar mempunyai ilmu dan ijazah yang di perlukan, namun tidak bisa dia capai kecuali dengan menyuap, maka bagi yang melamar mau menjadi PNS, hukumnya halal. Dan bagi yang menerima suapanan hukumnya haram. Nah kalau hukumnya sudah halal bagi pelamar PNS yang menyuap, maka sudah bisa di pastikan mengenai hukum gajinya,sudah tentu halal. Demikian yang dapat saya haturkankurang lebihnya mohon diperbaiki oleh para asatidz yang lain..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar