Senin, 31 Agustus 2015

DOC.48. HUKUM TATO BAGI ORANG YG BERTAUBAT DGN TAUBATANNASUHA


 HUKUM TATO BAGI ORANG YG BERTAUBAT DGN TAUBATANNASUHA



Pertanyaan

Rahmawati Lamato
19 Juni pukul 10:32
Ass..sy mau ny..sy mempunyai temn dia itu mantan preman ..d tubuhnya banyak tato ..dan alahmdulillah dia sekrang taubatan nasuha dn berubah drastis jaln hidupnya yg d jadiin masalah tato d tubuhnya..sedikit demi sedikit d hpus tato itu walau dgn amat sakit ..apa klu ad sisa itu wjib d ilangin semua ya.. P ustad.. ? Mhon penjelasanya wass

jawaban :

Mustofai Nal Akhyar

kita harus mengerti apa yang dimaksud dengan tato agar tidak terjadi salah pemahaman. Ibnu Hajar Al-'asqalani dalam bukunya Fathul Bari, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tato (wasym) menurut ahli bahasa adalah menusuk-nusuk anggota tubuh dengan jarum hingga berdarah, kemudian mengisi lubang di kulit tubuh tersebut dengan pewarna (tinta) atau sejenisnya hingga menjadi kehijauanBerdasarkan definisi di atas, jelaslah bahwa tato yang dimaksud bukanlah menggambar anggota tubuh dengan zat pewarna alami yang tidak menghalangi sampainya air ke kulit, misalnya dengan inai, henna atau sejenisnya, akan tetapi tato adalah menggambar atau mengukir anggota tubuh dengan cara melukainya dengan jarum, kemudian memasukkan zat pewarna tersebut ke bawah kulit yang sudah dilukai dengan jarum. Tato semacam ini bersifat permanen. Tato dalam arti seperti telah disebutkan di atas haram hukumnya menurut kesepakan ulama (ijmak). Dalilnya adalah hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim berikut : "Allah melaknat wanita2 yang mentato dan minta ditato, yang mencukur alis dan minta dicukur alisnya, serta yang meregangkan giginya untuk mempercantik diri, wanita-wanita yang merubah ciptaan Allah”.(HR Muslim)Lantas, bagaimanakah shalat orang yang bertato? Sahkah wudhu dan shalatnya? Kalau kita cermati sebenarnya yang terjadi pada tato, tidak ada lapisan yang menghalangi sampainya air ke kulit. Sebab tato tidak berada di luar kulit, melainkan di dalam kulit. Berdasarkan hal ini, maka wudhu maupun mandi janabah seseorang yang bertato adalah sah. Lalu bagaimana dengan shalat seorang yang bertato? Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa tato adalah endapan darah di bawah kulit yang bercampur dengan tinta atau zat semisal yang dibentuk sesuai gambar atau tulisan tertentu. Darah yang bercampur dengan tinta dan mengendap di bawah kulit semacam ini hukumnya adalah najis. Sedangkan salah satu syarat sahnya shalat adalah sucinya badan, pakaian dan tempat dari segala najis. Orang yang bertato dengan sendirinya membawa najis yang melekat di tubuhnya secara permanen, ibarat anak kecil yang mengenakan popok bayi penuh dengan najis air seni. Dengan sendirinya, shalatnya tidak sah meskipun ia dalam keadaan berwudhu. Lantas bagaimana solusinya bagi mereka yang sudah terlanjur bertato? Ibnu Hajar Al-'asqalani dalam bukunya Fathul Bari, menjelaskan bahwa tempat yang ditato menjadi najis karena darahnya tertahan di kulit tersebut. Oleh karena itu tato tersebut wajib dihilangkan meskipun harus melukai kulit, kecuali jika dikhawatirkan akan mengakibatkan rusak, cacat atau hilangnya fungsi anggota tubuh yang ditato tersebut. Dalam kondisi demikian, maka tatonya boleh tidak dihilangkan, dan cukuplah taubat untuk menghapus dosanya.. smg brmnfaat..


Tato adalah perbuatan menusuk-nusukkan jarum ke bagian tubuh, seperti : wajah, badan, tangan, kaki sehingga mengeluarkan darah kemudian diberikan alkohol diatasnya sehingga menjadi biru.
Perbuatan ini termasuk yang diharamkan dan para pelakunya mendapatkan laknat dari Allah swt, berdasarkan riwayat Bukhori dari Al Qomah bahwa Rasulullah saw bersabda,”Allah melaknat orang-orang yang mentato dan yang minta ditato.”
Islam mewajibkan kepada orang yang bertato untuk segera menghilangkannya dan bertaubat kepada Allah swt. Akan tetapi apabila penghilangan tato tersebut membawa mudharat dan cacat kepada dirinya maka cukuplah baginya untuk bertaubat kepada Allah swt.
Apabila dirinya telah bertaubat dengan taubat nasuha (sungguh-sungguh) dan memenuhi persyaratan pertaubatan itu, yaitu : meninggalkan perbuatan tato tersebut, menyesalinya dan bertekad untuk tidak mengulanginya maka sesungguhnya Allah swt Maha Pengampun lagi Maha Pemurah.

Firman Allah swt :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ (٨)

Artinya : ‘ Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai” (QS. At Tahrim : 8)
Apabila dirinya telah bertaubat dengan sungguh-sungguh atas perbuatannya itu meskipun tato itu masih terdapat di tubuhnya maka hal itu tidaklah berpengaruh terhadapa ibadah-ibadahnya secara umum, seperti : umroh, haji maupun shalatnya dan tetap dianggap sah


Tahkim Matas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM, Mengingat dan pemperhatikah jawaban para asatid dan asatidah juga para member matas yg di mulyakan allah insya allah, Mengenai hukum wuduk orang yg bertato SAH WUDUKNYA karena tato berada didalam kulit tdk terjadi pelapisan terhadap kulit berarti tidak ada hal yang menghalangi air bisa masuk ke kulit, mengenai sholat orang yg bertato dinyatakan TIDAK SAH karna darah yang bercampur dengan tinta dan mengendap di bawah kulit semacam ini hukumnya adalah najis. Sedangkan salah satu syarat sahnya shalat adalah sucinya badan, pakaian dan tempat dari segala najis. Orang yang bertato dengan sendirinya membawa najis yang melekat di tubuhnya secara permanen, ibarat anak kecil yang mengenakan popok bayi penuh dengan najis air seni. Dengan sendirinya, shalatnya tidak sah meskipun ia dalam keadaan berwudhu. Lantas bagaimana solusinya bagi mereka yang sudah terlanjur bertato? Ibnu Hajar Al-'asqalani dalam bukunya Fathul Bari, menjelaskan bahwa tempat yang ditato menjadi najis karena darahnya tertahan di kulit tersebut. Oleh karena itu tato tersebut wajib dihilangkan meskipun harus melukai kulit, kecuali jika dikhawatirkan akan mengakibatkan rusak, cacat atau hilangnya fungsi anggota tubuh yang ditato tersebut. Dalam kondisi demikian, maka tatonya boleh tidak dihilangkan, dan cukuplah taubat untuk menghapus dosanya(2).

selanjutnya mengenai orang yg bertaubat dg taubatan nasuha maka semuanya itu Allah yang maha tau, insya allah maha rahman dan maha rahim dan yakinlah bahwa Allah Maha Tau atas niat baik hamba-hamba-Nya, DEMIKIAN WALLAHU A'LAM BISSOWAF.

Link documen fb:https://m.facebook.com/notes/majlis-taklim-as-salafiyah-al-gasim-matas-/docmatas-48-hukum-tato-bagi-orang-yg-bertaubat-dgn-taubatannasuha/324949974332645/?refid=18

DOC.47.MENIKAHI WANITA SEDANG HAMIL DARI HASIL ZINA

MENIKAHI WANITA SEDANG HAMIL DARI HASIL ZINA.

Oleh Guz Zein pada 22 Maret 2014 pukul 1:03

PERTANYAAN.
Shaila Nabilla
Assalamu'alaikum wr wb.
Bolehkah menikahi wanita yg sedang hamil dari hasil Zina ..

JAWABAN:

Guz Zein
MENURUT MADZHAB SYAFI`I. Hukumnya Boleh, dan Nikahnya Syah.
الإقناع في حل ألفاظ أبي شجاع . 2/240
فرع.  لو نكح حاملا من الزنا صح نكاحه بلا خلاف
Walaopun menikahi perempuan dlm ke adaan hamil dari hasil Zina, maka hukumnya syah.

Guz Zein

حكم نكاح الزانية
الحنفية والشافعية - قالوا : إذا زنى رجل بامرأة
يجوز له أن يتزوجها بعد ذلك بعقد صحيح وذلك لآن ماء الزنا لا حرمة له ولما روي أن رجلا زنى بامرأة في زمن أبي بكر الصديق رضي الله عنه فجلدهما مائة جلدة لأنهما كانا غير مصنين ثم زوج أحدهما من الآخر ونفاهما سنة وروي مثل ذلك عن عمر وأبن مسعود وجابر بن عبد الله رضي الله تعالى عنهم وقال أبن عباس رضي الله عنهما في هذا الحكم : أوله سفاح وآخره نكاح والنكاح مباح فلا يحرم السفاح النكاح ذلك مثل رجل سرق من حائط ثمرة ثم أتى صاحب البستان فاشترى منه ثمرة فما سرق حرام وما اشترى حلال ( . الكتاب : الفقه على المذاهب الأربعة)

Guz Zein

(مسألة : ي ش) : يجوز نكاح الحامل من الزنا سواء الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع الكراهة.     ( الكتاب : بغية المسترشدين في تلخيص فتاوى بعض الأئمة من العلماء المتأخرين ). ص:419

Di perbolehkan menikahi wanita yg sedang hamil dr hasil Zina, baik yg menikahi nya itu laki-lki yg men zinahi nya atao laki-laki lain. Sedangkan menggaulinya (menyetubuhinya) pada waktu hamil itu,  hukumnya makruh. (bughyatul mustarsyidin hal: 419).

https://www.facebook.com/groups/205994912899488/283059501859695/?notif_t=group_comment_reply


MUSYAWWIRIN :
 Member Group Majlis Ta'lim Assalafiyah ( MATAS )
PENELITI : (1). Ustadz Alfin Jayani (2). Ach al faroby (3). Ustadz Sultoni Arobbi (4). Ustadzah Naila Mazaya Maya (5). Ustadz Abu Shafa (6) Ustadz Abdul Ghafur Masykur (7) Ustadzah Mariyatul Qibtiyah 8. Ustad Alan Rush 9. Ustad Lutfijaya
EDITOR : Ustadz Sultoni Arobbi

Link documen fb:https://m.facebook.com/notes/majlis-taklim-as-salafiyah-al-gasim-matas-/doc-matas-47-menikahi-wanita-sedang-hamil-dari-hasil-zina/301553120005664/?refid=18

DOC.46.HUKUM BERHUBUNGAN INTIM GENGAN JIN

HUKUM BERHUBUNGAN INTIM GENGAN JIN


Oleh Tahkim Matas pada 2 Februari 2014 pukul 6:36

Phaman Bozt
All q mau tanx,,loew menjimak jin,,tanpa keluarnx sperma...apakah wajib mandi besar,,,,,?
jawaban :

Ummu Rafifah

روي عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت:ان رجلاسأل رسول الله صلى الله عليه وسلم.عن الرجل يجامع أهله ثم يكسل هل عليهماالغسل؟ وعائشةجالسة فقال رسول الله ص.إني ﻻفعل ذلك انا وهذه ثم نغتسل. رواه مسلم

Telah diriwayatkan dari 'Aisya istri Rasulullah SAW dia berkata: Bahwa seorang lelaki bertanya kpd Rasulullah SAW darihal orang leleki yg bersetubuh dengan istrinya, kemudian tidak inzal adakah wajib atas mereka itu mandi? Diwaktu itu 'Aisya sedang duduk lalu Rasulullah bersabda: Saya sungguh pernah berbuat yg demikian itu, saya & istri saya ini, kemudian kami mandi. HR: Muslim



Lutfi Jaya Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata,

“وَلا رَيْبَ أَنَّ الزَّاجِرَ الطَّبْعِيَّ عَنْ إِتْيَانِ الْبَهِيْمَةِ أَقْوَى مِنَ الزَّاجِرِ الطَّبْعِيِّ عَنِ التَّلَوُّطِ”

“Tidak diragukan lagi bahwa (penentangan) batin akan perbuatan menyetubuhi binatang lebih kuat dari penentangan batin akan perbuatan gay.“Tidak diragukan lagi, orang yang melakukan perbuatan ini tidaklah menjauh dari semua perbuatan yang keji, bahkan ia berada pada posisi yang lebih besar karena ia tidaklah menyetubuhi binatang, kecuali ketidaksanggupannya untuk bersetubuh dengan binatang, dalam berzina,

Guz Zein
باب الغسل : موجبه : جنابة بدخول حشفة أوقدرها فرجا ......... (فرجا) سواء كان قبلا أو دبرا, من ذكر أو أنثى, آدميا أوغيره ..........كتاب : النجم الوهاج في شرح المنهاج . ج: 1. ص: 378.

Guz Zein BAB : MANDI BESAR. adapun yg mewajibkan mandi besar di antaranya ialah : JANABAH (JUNUB). dg memasukkan alat kelamin laki'' ke dalam alat kelamin perempuan. baik dr yg depan ataupun yg belakang. di masukkan ke kelaminya anak adam atao yg lainya.
 jd kesimpulanya tetap di wajibkan mandi besar



Tahkim Matas Bismillahirrahmanirrahim, salam semangat kepada semua teman-teman member matas hafidollah amin, berdasarkan dari semua jawaban para kiai dan para asatidz juga teman-teman matas diatas sepakat bahwa apabila bertemunya dua kemaluan yg telah dijelaskan dalam kitab syarhul minhaj dan kitab-kitab lain bab mandi besar telah di jelaskan sejelas jelasnya di atas bahwa tetap di wajibkan mandi besar meskipun tdk keluar mani, demikian terima kasih kepada semua teman-teman yg sdh menyumbangkan pendapatnya semuga menjadi ilmu yg bermanfaat amin jazakumullah ahsanal jazak amin.

MUSYAWWIRIN :
 Member Group Majlis Ta'lim Assalafiyah ( MATAS )
PENELITI : (1). Ustadz Alfin Jayani (2). Ach al faroby (3). Ustadz Sultoni Arobbi (4). Ustadzah Naila Mazaya Maya (5). Ustadz Abu Shafa (6) Ustadz Abdul Ghafur Masykur (7) Ustadzah Mariyatul Qibtiyah 8. Ustad Alan Rush 9. Ustad Lutfijaya

EDITOR : Ustadz Sultoni Arobbi

Link documen fb:https://m.facebook.com/notes/majlis-taklim-as-salafiyah-al-gasim-matas-/docmatas-46-hukum-berhubungan-intim-dengan-jin/301541516673491/?refid=18

DOC.45.PENGERTIAN AIR MUSTAKMAL

PENGERTIAN AIR MUSTAKMAL


Oleh Lutfi Jaya pada 6 November 2013 pukul 12:55

Wadi Salam
ASSALAMUALAYKUM. AKU JUGA MAU NANYA USTAD"KU APA YANG DISEBUT AIR MUSTA'MAL. MOHON JAWABAN DI SERTAI IBAROT DARI KITAB KITAB YANG MU'TABAROH. TERIMA KASIH ATAS JAWABANNYA. WASSALAMUALAYKUM

jawaban :

Air Musta'mal
Yang di maksud dengan air musta’mal adalah air yang sudah pernah dipakai membasuh anggota tubuh yang wajib dibasuh untuk menghilangkan hadats atau najis. Al-Bakri ad-Damyathi menyebut empat kriteria air musta’mal : yaitu : 1. sedikit air (tidak sampai dua qulah) 2. air yang sudah digunakan pada anggota tubuh yang wajib dibasuh 3. air sudah terpisah dari anggota tubuh 4. tidak ada niat menciduk air pada tempat niat menciduk, yaitu dalam hal mandi adalah setelah niat mandi dan bersentuhan air dengan anggota tubuh dan dalam hal wudhu’ adalah setelah membasuh muka dan merencanakan basuh dua tangan 1 Hukum memakai air musta’mal 1. Berkata Imam an-Nawawi : “Air Musta’mal dari fardhu bersuci dari hadats tidak menyucikan menurut qaul jadid. Ada yang mengatakan termasuk juga air sunat bersuci”.Jalaluddin al-Mahalli dalam melakukan pendalilian terhadap pendapat an-Nawawi di atas berkata : “ Karena para Sahabat r.a. tidak pernah mengumpulkan air musta’mal untuk bersuci dengannya, dalam perjalanan musafir dimana mereka dalam keadaan sedikit air, bahkan mereka berpaling kepada tayamum”. 2 2. Berkata Taqiyuddin ad-Damsyiqi : “Air musta’mal tidak menyucikan, karena sahabat r.a., tidak mengumpulkan air musta’mal untuk berwudhu’ pada kali kedua, padahal mereka adalah orang-orang yang sangat peduli dengan urusan agama. Kalau yang demikian itu dibolehkan, maka sungguh mereka akan melakukannya. Terjadi khilaf di kalangan ashab Syafi’i tentang ‘illah terlarang memakai air musta’mal pada kali kedua, yang sahih adalah karena telah digunakan untuk fardhu”
. 3 Dalil lain air musta’mal tidak menyucikan antara lain Hadits Nabi SAW : 

أَنَّ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُوري المرأة أو قال بسؤرها؛ قال ابو عيسى هذا حديث حسن 
Artinya : Rasulullah SAW melarang laki-laki berwudhu dengan bekas air yang dipakai bersuci perempuan dan Abu Isa (Tirmidzi) mengatakan Hadits ini hasan (H.R. at-Turmidzi) 4 Golongan yang mengatakan bahwa air musta’mal tetap dapat menyucikan, mengemukakan dalil, antara lain : 1. Firman Allah :

 وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا 
Artinya : kami turunkan dari langit air yang amat bersih (Q.S. al-Furqan : 48) Air suci dan menyucikan pada ayat ini di sebut dengan lafazh طهور, berarti berulang-ulang menyucikan, karena lafazh timbangan فعول bermakna berulang-ulang. Imam Nawawi dalam mengomentari pendalilian ini berkata : “Tidak dapat kita terima timbangan فعول bermakna berulang-ulang secara mutlaq, tetapi yang benar adalah sebagian benar seperti itu dan sebagian yang lain tidak demikian. Ini masyhur di kalangan ahli Bahasa Arab”. 5 2. Hadits Nabi SAW : 
ومسح رأسه بما بقي من وضوء في يديه .......اسناده ضعيف 
Artinya : Dan beliau mengusap kepalanya dengan air bekas tangannya…, sanadnya dh’aif (H.R. Ahmad) 6 Hadits ini dha’if, jadi tidak dapat menjadi hujjah. 3. Hadits Nabi SAW dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a., beliau berkata : 
اغتسل بعض أزواج النبي صلى الله عليه وسلم في جفنة فجاء النبي صلى الله عليه وسلم ليغتسل أو يتوضأ فقالت يا رسول الله إني كنت جنبا فقال الماء لا يجنب 
Artinya : Salah seorang istri Nabi SAW mandi dalam sebuah bejana. Kemudian Nabi SAW datang hendak mandi atau wudhu’ (dalam bejana yang sama). Maka ia (istri Nabi) berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tadi junub”. Maka beliau bersabda : “Sesungguhnya air itu tidak bisa membuat junub” (H.R. Ibnu Majah) 7 Memang benar air dalam kisah tersebut pada hadits di atas tetap dapat dipakai untuk mandi, karena air tersebut kemungkinan besar sampai dua qulah. Air apabila sampai dua qulah meskipun sudah dipakai untuk mandi janabah tetap suci menyucikan. Penafsiran seperti ini supaya hadits ini tidak bertentangan (mentaufiqkan) dengan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa air musta’mal tidak menyucikan. Al-Abady Abu al-Thaib mengatakan : “Dijadikan hujjah dengan hadits ini atas menyucikan air musta’mal. Hal tersebut dijawab bahwa Nabi SAW dan isteri beliau hanya menciduk air dari bejana tersebut dan tidak masuk membenam dirinya dalamnya, karena jauh kemungkinan mandi dalam bejana pada kebiasaan. Dan ”fi” bermakna ”min”. 

8 DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Bakry ad-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 28 2.Jalaluddin al-Mahalli, al-Mahalli (Syarah Minhaj), dicetak pada hamisy Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal.20 
3.Taqiyuddin ad-Damsyiqi, Kifayatul Akhyar, Darul Khair, Damsyiq, Juz. I, Hal. 14 4.At-Turmidzi, Sunan at-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 44, No. Hadits : 47 5.Imam an-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 212 6.Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Muassasah Qurthubah, Kairo, Juz. VI, Hal. 358, No. Hadits : 27061 7.Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Abu-al-Ma’athy, Juz. I, Hal. 241, No. Hadits : 370 8.Al-Abady Abu al-Thaib, ‘Aun al-Ma’bud, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 84 


MUSYAWWIRIN :
 Member Group Majlis Ta'lim Assalafiyah ( MATAS )
PENELITI : (1). Ustadz Alfin Jayani (2). Ach al faroby (3). Ustadz Sultoni Arobbi (4). Ustadzah Naila Mazaya Maya (5). Ustadz Abu Shafa (6) Ustadz Abdul Ghafur Masykur (7) Ustadzah Mariyatul Qibtiyah 8. Ustad Alan Rush 9. Ustad Lutfijaya
EDITOR : Ustadz Sultoni Arobbi
Link documen fb:https://m.facebook.com/notes/majlis-taklim-as-salafiyah-al-gasim-matas-/docmatas-45-pengertian-air-mustakmal/299869516840691/?refid=18

DOC.44.HIJAB DAN BATASANYA MENURUT ISLAM

HIJAB DAN BATASANYA MENURUT ISLAM

Oleh Jubir Matas pada 14 November 2013 pukul 14:17

Aryy Cllu Gaberharga


Assalamu 'alaikum. wr. wb. para muslimin muslimat,,,,,,,,,,
tolong jelaskan pd saya tentng HIJAB yg mna saat ne udh berbagi mode terlihat.

matur suwun atas penjelasan.a,,,

jawaban :

Tahkim Matas Bismillahirramanirrahim, Buah nangka yang sudah dibelah, selain akan kehilangan cita rasa, aroma dan keistimewaan yang dimiliki, juga tidak akan selamat dari serbuan lalat dan serangga lainnya. Begitu juga dengan perempuan, ketika dia selalu memamerkan kecantikan dan keindahan tubuhnya, laki-laki hidung belang dan makhluk jenis ini akan segera datang untuk menikmatinya. Dan Islam sebagai agama yang sempurna datang menawarkan solusinya.

Ayat terpenting yang menetapkan kewajiban berhijab pada kaum wanita yang akan kita bahas adalah ayat ke-31 surat an-Nur dan ayat ke-59 surat al-Ahzab. Allah swt dalam surat an-Nur ayat ke 31 berfirman:

وَ قُلْ لِلْمُؤْمِناتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصارِهِنَّ وَ يَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَ لا يُبْدينَ زينَتَهُنَّ إِلاَّ ما ظَهَرَ مِنْها وَ لْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلى جُيُوبِهِنَّ وَ لا يُبْدينَ زينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبائِهِنَّ أَوْ آباءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنائِهِنَّ أَوْ أَبْناءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوانِهِنَّ أَوْ بَني إِخْوانِهِنَّ أَوْ بَني أَخَواتِهِنَّ أَوْ نِسائِهِنَّ أَوْ ما مَلَكَتْ أَيْمانُهُنَّ أَوِ التَّابِعينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلى عَوْراتِ النِّساءِ وَ لا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ ما يُخْفينَ مِنْ زينَتِهِنَّ وَ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَميعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

(Wahai Rasulullah) Dan katakanlah kepada kaum wanita yang beriman agar mereka menahan pandangan mereka dan menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali sesuatu yang (biasa) tampak darinya. Hendaknya mereka menutupkan kerudung mereka ke dada mereka (sehingga dada mereka tertutupi), janganlah menampakkan perhiasan mereka kecuali untuk suami-suami mereka, atau ayah dari suami-suami mereka atau putra-putra mereka, atau anak laki-laki dari suami-suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara-saudara laki-laki mereka, atau anak laki-laki dari saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita mereka atau budak-budak mereka atau laki-laki (pembantu di rumah) yang tidak memiliki syahwat atau anak kecil yang tidak paham terhadap aurat wanita. Dan janganlah kalian mengeraskan langkah kaki kalian sehingga diketahui perhiasan yang tertutupi (gelang kaki). Wahai orang-orang yang beriman bertaubatlah kalian semua kepada Allah swt supaya kalian termasuk orang-orang yang beruntung, demikian tentang batasan2 sdh di jelaskan sama ustad2 d atas... demikian semuga bermanfaat amin wallahu a'lam bisshowaf.

MUSYAWWIRIN :
 Member Group Majlis Ta'lim Assalafiyah ( MATAS )
PENELITI : (1). Ustadz Alfin Jayani (2). Ach al faroby (3). Ustadz Sultoni Arobbi (4). Ustadzah Naila Mazaya Maya (5). Ustadz Abu Shafa (6) Ustadz Abdul Ghafur Masykur (7) Ustadzah Mariyatul Qibtiyah 8. Ustad Alan Rush 9. Ustad Lutfijaya
EDITOR : Ustadz Sultoni Arobbi

Link documen fb:https://m.facebook.com/notes/majlis-taklim-as-salafiyah-al-gasim-matas-/docmatas-44-hijab-dan-batasannya-menurut-islam/299877260173250/?refid=18

DOC.43.HUKUM MUBALIGH TIDAK MELAKUKAN TERHADAP APA YG DIA KATAKAN

HUKUM MUBALIGH TIDAK MELAKUKAN TERHADAP APA YG DIA KATAKAN

Oleh Jubir Matas pada 14 November 2013 pukul 12:19

Gusmed El Samany


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته،،،،،،،،بسم الله الر حمن الر حيم

Mohon pengkajiannya kpd ustd/ustdz,,,dn para member MATAS,
Bagaimana hukumnya,seorang Da'i/ustd/ustdz,memberikan nasehat kpd jemaahnya/orang lain,menyerukan pd kebaikan,misalnya dalam menjalankan perintah agama,Dan larangan agama,dia,hanya menyerukan kepada orang lain,tapi .si Da'i tidak menerapkan pada dirinya sendiri,,,,seperti yg dia nasehatkan kpd orang lain.....?


jawaban :

Tidak disangsikan lagi bahwa adanya perbedaan antara kata dan realita adalah salah satu hal yang sangat berbahaya. Itulah sebab datangnya murka Allah sebagaimana firman-Nya surat Shaff ayat 2 dan 3.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Shaff: 2-3)
Allah juga mencela perilaku Bani Israil dengan firman-Nya,
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah: 44)
Demikian pula terdapat dalam hadits. Dari Usamah, aku mendengar Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan didatangkan seorang pada hari kiamat lalu dicampakkan ke dalam neraka. Di dalam neraka orang tersebut berputar-putar sebagaimana keledai berputar mengelilingi mesin penumbuk gandum. Banyak penduduk neraka yang mengelilingi orang tersebut lalu berkata, ‘Wahai Fulan, bukankah engkau dahulu sering memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran?’ Orang tersebut menjawab, ‘Sungguh dulu aku sering memerintahkan kebaikan namun aku tidak melaksanakannya. Sebaliknya aku juga melarang kemungkaran tapi aku menerjangnya.'” (HR Bukhari dan Muslim)
Berkaitan dengan para penceramah, dai dan mubaligh bahkan terdapat hadits khusus. Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda, “Saat malam Isra’ Mi’raj aku melintasi sekelompok orang yang bibirnya digunting dengan gunting dari api neraka.” “siapakah mereka”, tanyaku kepada Jibril. Jibril mengatakan, “mereka adalah orang-orang yang dulunya menjadi penceramah ketika di dunia. Mereka sering memerintahkan orang lain melakukan kebaikan tapi mereka lupakan diri mereka sendiri padahal mereka membaca firman-firman Allah, tidakkah mereka berpikir?” (HR. Ahmad, Abu Nu’aim dan Abu Ya’la. Menurut al-Haitsami salah satu sanad dalam riwayat Abu Ya’la para perawinya adalah para perawi yang digunakan dalam kitab shahih)
Dalil-dalil di atas menunjukkan pengingkaran keras terhadap orang yang punya ilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya. Inilah salah satu sifat orang-orang Yahudi yang dicap sebagai orang-orang yang mendapatkan murka Allah disebabkan mereka berilmu namun tidak beramal.
Oleh karena itu, Ibnu Qudamah mengatakan, “Ketika berkhutbah seorang khatib dianjurkan untuk turut meresapi apa yang dia nasihatkan kepada banyak orang.” (Al-Mughni, 3/180)
Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Duhai orang-orang yang memiliki ilmu amalkanlah ilmu kalian. Orang yang berilmu secara hakiki hanyalah orang yang mengamalkan ilmu yang dia miliki sehingga amalnya selaras dengan ilmunya. Suatu saat nanti akan muncul banyak orang yang memiliki ilmu namun ilmu tersebut tidaklah melebihi kerongkongannya sampai-sampai ada seorang yang marah terhadap muridnya karena ngaji kepada guru yang lain.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah, 2/53)
Abu Darda radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “tanda kebodohan itu ada tiga; pertama mengagumi diri sendiri, kedua banyak bicara dalam hal yang tidak manfaat, ketiga melarang sesuatu namun melanggarnya. (Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlih, 1/143)
Jundub bin Abdillah Al-Bajali mengatakan, “gambaran yang tepat untuk orang yang menasihati orang lain namun melupakan dirinya sendiri adalah laksana lilin yang membakar dirinya sendiri untuk menerangi sekelilingnya.” (Jami’ Bayan Ilmi wa Fadhlih,1/195)
Bahkan sebagian ulama memvonis gila orang yang pandai berkata namun tidak mempraktekkannya karena Allah berfirman, “Tidakkah mereka berakal?” (QS. Al-Baqarah: 44)
Sungguh tepat syair yang disampaikan oleh manshur al-Fakih, “Sungguh ada orang yang menyuruh kami untuk melakukan sesuatu yang tidak mereka lakukan, sungguh orang-orang gila. Dan sungguh mereka tidaklah berterus terang.” (Tafsir Qurthubi, 1/410)
Berikut ini, beberapa perkataan salafus shalih berkaitan dengan masalah ini sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Ilmi wa Fadhlih :
  1. Siapa saja yang Allah halangi untuk mendapatkan ilmu maka Allah akan menyiksanya karena kebodohannya. Orang yang lebih keras siksaannya adalah orang yang ilmu itu datang kepadanya tapi dia berpaling meninggalkan ilmu. Demikian pula orang yang Allah berikan kepadanya ilmu tapi tidak diamalkan.
  2. Ubay bin Ka’ab mengatakan, “Pelajarilah ilmu agama dan amalkanlah dan janganlah kalian belajar untuk mencari decak kagum orang. Jika kalian berumur panjang segera akan muncul satu masa di masa tersebut orang mencari decak kagum orang lain dengan ilmu yang dia miliki sebagaimana mencari decak kagum dengan pakaian yang dikenakan.
  3. Abdullah ibn Mas’ud mengatakan, “semua orang itu pintar ngomong. Oleh karenanya siapa yang perbuatannya sejalan dengan ucapannya itulah orang yang dikagumi. Akan tetapi bila lain ucapan lain perbuatan itulah orang yang mencela dirinya sendiri.
  4. Al-Hasan Bashri mengatakan, “Nilailah orang dengan amal perbuatannya jangan dengan ucapannya. Sesungguhnya semua ucapan itu pasti ada buktinya. Berupa amal yang membenarkan ucapan tersebut atau mendustakannya. Jika engkau mendengar ucapan yang bagus maka jangan tergesa-gesa menilai orang yang mengucapkannya sebagai orang yang bagus. Jika ternyata ucapannya itu sejalan dengan perbuatannya itulah sebaik-baik manusia.”
  5. Imam Malik menyebutkan bahwa beliau mendapatkan berita al-Qasim bin Muhammad yang mengatakan, “Aku menjumpai sejumlah orang tidak mudah terkesima dengan ucapan namun benar-benar salut dengan amal perbuatan.”
  6. Abu Darda mengatakan, “Sebuah kecelakaan bagi orang yang tidak tahu sehingga tidak beramal. Sebaliknya ada 70 kecelakaan untuk orang yang tahu namun tidak beramal.”
Tidak diragukan lagi bahwa permisalan orang yang beramar makruf nahi mungkar adalah seperti dokter yang mengobati orang lain. Satu hal yang memalukan ketika seorang dokter bisa menyebutkan obat yang tepat untuk pasiennya demikian pula tindakan preventif untuk mencegah penyakit pasiennya kemudian ternyata dia sendiri tidak menjalankannya. Berdasarkan keterangan yang lewat, jelas sudah betapa bahaya hal ini, karenanya menjadi kewajiban setiap da’i dan muballigh untuk memperhatikannya. Karena jika obyek dakwah mengetahui hal ini maka mereka akan mengejek sang pendakwah. Belum lagi hukuman di akhirat nanti dan betapa besar dosa yang akan dipikul nanti.
Sebagian orang tidak mau melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar karena merasa belum melakukan yang makruf dan masih melanggar yang mungkar. Orang tersebut khawatir termasuk orang yang mengatakan apa yang tidak dia lakukan.
Sa’id bin Jubair mengatakan, “Jika tidak boleh melakukan amar makruf dan nahi mungkar kecuali orang yang sempurna niscaya tidak ada satupun orang yang boleh melakukannya.” Ucapan Sa’id bin Jubair ini dinilai oleh Imam Malik sebagai ucapan yang sangat tepat. (Tafsir Qurthubi, 1/410)
Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata kepada Mutharrif bin Abdillah, “Wahai Mutharrif nasihatilah teman-temanmu.” Mutharrif mengatakan, “Aku khawatir mengatakan yang tidak ku lakukan.” Mendengar hal tersebut, Hasan Al-Bashri mengatakan, “Semoga Allah merahmatimu, siapakah di antara kita yang mengerjakan apa yang dia katakan, sungguh setan berharap bisa menjebak kalian dengan hal ini sehingga tidak ada seorang pun yang berani amar makruf nahi mungkar.” (Tafsir Qurthubi, 1/410)
Al-Hasan Al-Bashri juga pernah mengatakan, “Wahai sekalian manusia sungguh aku akan memberikan nasihat kepada kalian padahal aku bukanlah orang yang paling shalih dan yang paling baik di antara kalian. Sungguh aku memiliki banyak maksiat dan tidak mampu mengontrol dan mengekang diriku supaya selalu taat kepada Allah. Andai seorang mukmin tidak boleh memberikan nasihat kepada saudaranya kecuali setelah mampu mengontrol dirinya niscaya hilanglah para pemberi nasihat dan minimlah orang-orang yang mau mengingatkan.” (Tafsir Qurthubi, 1/410)
Untuk mengompromikan dua hal ini, Imam Baihaqi mengatakan, “Sesungguhnya yang tidak tercela itu berlaku untuk orang yang ketaatannya lebih dominan sedangkan kemaksiatannya jarang-jarang. Di samping itu, maksiat tersebut pun sudah ditutup dengan taubat. Sedangkan orang yang dicela adalah orang yang maksiatnya lebih dominan dan ketaatannya jarang-jarang.” (Al-Jami’ Li Syuabil Iman, 13/256)
Sedangkan Imam Nawawi mengatakan, “Para ulama menjelaskan orang yang melakukan amar makruf dan nahi mungkar tidaklah disyaratkan haruslah orang yang sempurna, melaksanakan semua yang dia perintahkan dan menjauhi semua yang dia larang. Bahkan kewajiban amar makruf itu tetap ada meski orang tersebut tidak melaksanakan apa yang dia perintahkan. Demikian pula kewajiban nahi mungkar itu tetap ada meski orangnya masih mengerjakan apa yang dia larang. Hal ini dikarenakan orang tersebut memiliki dua kewajiban, 
pertama memerintah dan melarang diri sendiri,
kedua memerintah dan melarang orang lain. Jika salah satu sudah ditinggalkan bagaimanakah mungkin hal itu menjadi alasan untuk meninggalkan yang kedua.” (Al-Minhaj, 1/300)
Ibnu Hajar menukil perkataan sebagian ulama, “Amar makruf itu wajib bagi orang yang mampu melakukannya dan tidak khawatir adanya bahaya menimpa dirinya meskipun orang yang melakukan amar makruf tersebut dalam kondisi bermaksiat. Secara umum orang tersebut tetap mendapatkan pahala karena melaksanakan amar makruf terlebih jika kata-kata orang tersebut sangat ditaati. Sedangkan dosa yang dia miliki maka boleh jadi Allah ampuni dan boleh jadi Allah menyiksa karenanya. Adapun orang yang beranggapan tidak boleh beramar makruf kecuali orang yang tidak memiliki cacat maka jika yang dia maksudkan bahwa itulah yang ideal maka satu hal yang baik. Jika tidak maka anggapan tersebut berkonsekuensi menutup pintu amar makruf jika tidak ada orang yang memenuhi kriteria.” (Fathul Baari, 14/554)


MUSYAWWIRIN :
 Member Group Majlis Ta'lim Assalafiyah ( MATAS )
PENELITI : (1). Ustadz Alfin Jayani (2). Ach al faroby (3). Ustadz Sultoni Arobbi (4). Ustadzah Naila Mazaya Maya (5). Ustadz Abu Shafa (6) Ustadz Abdul Ghafur Masykur (7) Ustadzah Mariyatul Qibtiyah 8. Ustad Alan Rush 9. Ustad Lutfijaya
EDITOR : Ustadz Sultoni Arobbi


DOC.42. HUKUM MEMBAKAR PETASAN

HUKUM MEMBAKAR PETASAN

                                                                             
HUKUM MEMBAKAR PETASAN
Oleh Lutfi Jaya pada 6 November 2013 pukul 12:42

Wadi Salam
ASSALAMUALAYKUM ijin nanya ustad ustadku semuanya. Bagaimana hukumnya membakar petasan/mercon menurut islam.? mohon pencerahannya. Terimakasih atas bantuannya.

jawaban :

Bismillahirrahmanirrahim
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta dalam rapatnya pada tanggal 13 Ramadhan 1431 H. bertepatan dengan tanggal 23 Agustus 2010 M, yang membahas tentang Hukum Petasan dan Kembang Api* yang dibakar dan dinyalakan di TPU Dobo di Pelabuhan Tanjung Priuk Jakarta Utara, berdasarkan rekomendasi Palang Merah Indonesia (PMI), setelah:
Menimbang:
1. Hasil penelitian Tim Pengkaji MUI DKI Jakarta 2. Hasil penelitian sejarah dan sosial budaya terhadap persepsi dan perilaku publik berkaitan dangan makam eks TPU Dobo 3. Hasil Kajian Tim Syari’ah dan Komisi Fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta
Mengingat:
1. Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia (PD/PRT MUI) 2. Pokok-Pokok Program Kerja MUI Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010 – 2015 3. Pedoman Penetapan Fatwa MUI
Memperhatikan:
1. Rekomendasi Palang Merah Indonesia (PMI) 2. Saran dan pendapat para peserta rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 13 Ramadhan 1431 H. bertepatan dengan tanggal 23 Agustus 2010 M, tentang Hukum Petasan dan Kembang Api
Memutuskan:
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT dan memohon ridha-Nya, sesudah mengkaji permasalahan tersebut dari al-Qur’an, Sunnah dan pendapat (qaul) yang mu’tabar, menyempurnakan dan menetapkan fatwa tentang Hukum Petasan dan Kembang Api (Fatwa MUI No. 31 Tahun 2000, penyempurnaan fatwa tanggal 24 Ramadhan 1395/30 Sep.1975), sebagai berikut: 1. Membakar, menyalakan atau membunyikan petasan dan kembang api dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri, Tahun Baru dan Walimah (Resepsi), seperti yang dilakukan oleh umat Islam khususnya warga DKI Jakarta, atau menjadi bagian dalam ritual ziarah di TPU Dobo, adalah suatu tradisi atau kebiasaan buruk yang sama sekali tidak terdapat dalam ajaran Islam, bahkan merupakan suatu perbuatan haram yang sangat bertentangan dan dilarang ajaran Islam. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
a. Tradisi membakar, menyalakan atau membunyikan petasan dan kembang api adalah bersumber dari kepercayaan umat di luar Islam untuk mengusir setan yang dianggap mengganggu mereka. Hal ini jelas merupakan suatu kepercayaan yang bertentangan dengan Aqidah Islam. Padahal Islam memerintahkan umatnya untuk menghindari kepercayaan yang bertentangan dengan Aqidah Islam, karena hai itu dinilai sebagai langkah setan dalam menjerumuskan umat manusia, sebagaimana difirmankan dalam QS. Al-Nur [24]:21:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. [QS. An-Nur[24]:21.]
b. Membakar, menyalakan atau membunyikan petasan dan kembang api merupakan pemborosan (tabdzir) terhadap harta benda yang diharamkan Allah, sebagaimana difirmankan dalam surat al-Isra’ [17]: 27:
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” [QS. Al-Isra’ [17]: 27]
c. Membakar, menyalakan atau membunyikan petasan dan kembang api sangat membahayakan jiwa, kesehatan, dan harta benda (rumah, pabrik, dan lain-lain). Padahal agama Islam melarang manusia melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Baqarah, 195:
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah [2]:195.)
Demikian juga sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut: لَا ضَرَرَ وَ لَا ضِرَارَ “(Kamu) tidak boleh membuat bahaya bagi dirimu sendiri dan juga tidak boleh membuat bahaya bagi orang lain”.
d. Membakar, menyalakan atau membunyikan petasan dan kembang api bahayanya (mudharat) lebih besar dari pada manfaatnya (kalau ada manfaatnya). Padahal di antara ciri-ciri orang muslim yang baik adalah orang yang mau meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Sebagaimana didasarkan pada makna umum ayat Al-Qur’an sebagai berikut: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.”
Dan hadits Rasulullah SAW: مِنْ حُسْنِ الإِسْلَامِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيْهِ (رواه مالك) “Di antara ciri-ciri orang muslim yang baik adalah orang yang mau meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat”.
2. Sehubungan dengan haramnya membakar atau menyalakan petasan dan kembang api, maka haram pula memproduksi, mengedarkan dan memperjualbelikannya. Hal ini didasarkan pada Kaidah Ushul Fiqh: لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ المـَقَاصِدِ “Sesuatu yang menjadi sarana, hukumnya mengikuti sesuatu yang menjadi tujuan.”
KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA DKI JAKARTA
Ketua,                                                                        Sekretaris,
ttd                                                                              ttd
KH. Syariffudin A. Ghani, MA         Dr. H. Fuad Thohari, MA
Mengetahui,
Ketua Umum,                                               Sekretaris Umum,
ttd                                                                            ttd
KH. Munzir Tamam, MA                    Dr. H. Samsul Ma’arif, MA
*Fatwa ini adalah penyempurnaan atas Seruan MUIDKI Jakarta kepada Umat Islam Ibu Kota Sekitar Pemasangan Petasan, tanggal 24 Ramadhan 1395 H/30 September 1975 M dan Fatwa MUI DKI Jakarta tanggal 29 Rabi’ul Akhir H. bertepatan dengan tanggal 31 Juli 2000 M yang ditandatangani oleh Prof. KH. Irfan Zidny, MA dan KH. M. Hamdan Rasyid, MA . [Sumber foto ilustrasi: wikimedia.com dan diolah kembali oleh redaksi].

http://www.muidkijakarta.or.id/fatwa-terkait-memasang-kembang-api-dan-petasan/

DOC.41. HUKUM PUASA QADAK DILAKSANAKAN BERSAMAAN DENGAN PUASA SUNNAH

HUKUM PUASA QADAK DILAKSANAKAN BERSAMAAN DENGAN PUASA SUNNAH

                                 


Yusra El-Habib
Assalamu'alaikum Wr Wb. Maaf mau tanya bolehkah mengqodho puasa bulan ramadhan bersamaan puasa sunah bulan syawal? Trimakasih

jawaban :
§   
§   
Lutfi Jaya

 Wa'alaikum salam warahmah... Puasa-puasa sunnah sepertipuasa 6 hari bulan syawal, senin kamis, dsb jika digabung dengan qadha ramadhan, maka menurut imam Romli mendapatkan pahala keduanya

إعانة الطالبين – (ج 2 / ص 252)

(وقوله: النفل) منصوب بنزع الخافض وهو عن، والتقدير: واحترز باشتراط التعيين في الفرض عن النفل. وكان المناسب أن يقول هنا أيضا: واحترز بقولي في الفرض من حيث اشتراط التعيين في الفرض عن النفل، لان المحترز به هو الفرض، لا اشتراط التعيين. فتنبه. وقوله: أيضا، أي كما احترز باشتراط التبييت في الفرض عن النفل. وقوله: فيصح: أي النفل – أي صومه. وقوله: ولو مؤقتا: غاية في صحة الصوم في النفل بنية مطلقة، أي لا فرق في ذلك بين أن يكون مؤقتا – كصوم الاثنين، والخميس، وعرفة، وعاشوراء، وأيام البيض – أو لا: كأن يكون ذا سبب – كصوم الاستسقاء – بغير أمر الامام، أو نفلا مطلقا. (قوله: بنية مطلقة) متعلق بيصح، فيكفي في نية صوم يوم عرفة مثلا أن يقول: نويت الصوم. (قوله: كما اعتمده غير واحد) أي اعتمد صحة صوم النفل المؤقت بنية مطلقة.وفي الكردي ما نصه: في الاسنى – ونحوه الخطيب الشربيني والجمال الرملي – الصوم في الايام المتأكد صومها منصرف إليها، بل لو نوى به غيرها حصلت إلخ: زاد في الايعاب ومن ثم أفتى البارزي بأنه لو صام فيه قضاء أو نحوه حصلا، نواه معه أو لا. وذكر غيره أن مثل ذلك ما لو اتفق في يوم راتبان كعرفة يوم الخميس. اه. وكلام التحفة كالمتردد في ذلك. اه. (قوله: نعم بحث في المجموع إلخ) هذا إنما يتم له إن ثبت أن الصوم في الايام المذكورة مقصود لذاتها. والمعتمد: كما يؤخذ من عبارة الكردي المارة آنفا – أن القصد وجود صوم فيها. فهي كالتحية، فإن نوى التطوع أيضا حصلا، وإلا سقط الطلب عنه، وبهذا فارق رواتب الصلوات. (قوله: كعرفة وما معها) أي وما يذكر معها عند تعداد الرواتب – كعاشورا، وستة من شوال، والايام البيض، والايام السود -. (قوله: فلا يحصل غيرها) أي من قضاء أو كفارة. (وقوله: معها) أي الرواتب. (وقوله: وإن نوى) أي غير الرواتب. (قوله: بل مقتضى القياس) أي على رواتب الصلاة. (وقوله: أن نيتهما) أي الرواتب وغيرها، كأن نوى صوم عرفة وقضاء أو كفارة. (وقوله: مبطلة) أي لان الراتب لا يندرج في غيره، فإذا جمعه مع غيره لم يصح، للتشريك بين مقصودين. (قوله: كما لو نوى الظهر وسنته) أي فإن ذلك مبطل، وقد علمت الفرق – فلا تغفل

§   
§   Diperbolehkan menggabung niat puasa 6 hari bulan syawal dengan qadha ramadhan menurut Imam   Romli dan keduanya mendapatkan pahala. Sedangkan menurut Abu Makhromah tidak mendapatkan pahala keduanya bahkan tidak sah.

قال شيخنا كشيخه والذي يتجه أن القصد وجود صوم فيها فهي كالتحية فإن نوى التطوع أيضا حصلا وإلا سقط عنه الطلب
( وقوله كالتحية ) أي فإنها تحصل بفرض أو نفل غيرها لأن القصد شغل البقعة بالطاعة وقد وجدت ( قوله فإن نوى التطوع أيضا ) أي كما أنه نوى الفرض ( وقوله حصلا ) أي التطوع والفرض أي ثوابهما ( قوله وإلا ) أي وإن لم ينو التطوع بل نوى الفرض فقط ( وقوله سقط عنه الطلب ) أي بالتطوع لاندراجه في الفرض

“Berkata Guru kami seperti guru beliau : Pendapat yang memiliki wajah penyengajaan dalam niat (dalam masalah ini) adalah adanya puasa didalamnya maka sama seperti shalat tahiyyat masjid bila diniati kesunahan kedua-duanya juga mendapatkan pahala bila tidak diniati maka gugur tuntutannya”
(Keterangan seperti shalat tahiyyat masjid) artinya shalat tahiyyah bisa berhasil ia dapatkan saat ia menjalani kewajiaban shalat fardhu atau sunah lainnya karena tujuan niat (dalam shalat tahiyyah masjid) adalah terdapatnya aktifitas ibadah di masjid dan ini sudah terjadi.
(Keterangan diniati kesunahan) sama halnya saat ia niati ibadah fardhu
(Keterangan kedua-duanya juga mendapatkan) artinya mendapatkan pahala puasa sunah dan puasa fardhu
(Keterangan bila tidak ia niati) artinya ia tidak niat puasa sunah tapi hanya niat puasa fardhu saja
(Keterangan maka gugur tuntutannya) artinya tuntutan puasa sunnahnya karena telah tercakup dalam puasa fardhu.
I’aanah at-Thoolibiin II/271


MUSYAWWIRIN :
 Member Group Majlis Ta'lim Assalafiyah ( MATAS )
PENELITI : (1). Ustadz Alfin Jayani (2). Ach al faroby (3). Ustadz Sultoni Arobbi (4). Ustadzah Naila Mazaya Maya (5). Ustadz Abu Shafa (6) Ustadz Abdul Ghafur Masykur (7) Ustadzah Mariyatul Qibtiyah 8. Ustad Alan Rush 9. Ustad Lutfijaya

EDITOR : Ustadz Sultoni Arobbi