HUKUM ISTRI MENCARI NAFKAH
Oleh Jubir Matas pada 30 April 2014
pukul 6:55
HUKUM ISTRI MENCARI
NAFKAH
Oleh Lutfi
Jaya pada 2 September 2013 pukul 4:22
Gusmed El Samany
السلا م عليكم ورحمة
الله وبركاته.
Ye para ustd we
ustdzah,,,definisi tentang hukum seorang istri mencari nafkah untuk anak Dan
suaminya itu bagaimana,,sedangkan kewajiban Ada pada suaminya untuk
menafkahinya...
jawaban :
§
Lutfi Jaya
Wa'alaikum
salam warohmatulli wabarokatuh hanya menambah dari jawaban ustadzah Ummu
Salamah Sebagaimana Islam menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang wanita yang bekerja di luar rumah, seperti harus mendapatkan izin dan
ridha suami, tidak ada ikhtilath dan khalwat dengan laki-laki bukan mahram di
tempat kerjanya karena bidang yang ditekuni adalah khusus lapangan kerja bagi
wanita seperti mengajar anak-anak perempuan, menolong persalinan, mengobati dan
merawat anak-anak kecil dan wanita yang sakit dan sebagainya.
Kemudian ia keluar
rumah dengan memperhatikan adab-adab keluar rumah seperti berhijab dengan
sempurna dan tetap dapat menjaga hijabnya di tempat kerja, tidak memakai
wangi-wangian, tidak berdesakan dengan laki-laki di jalan menuju tempat kerja,
berhias dengan rasa malu dan menundukkan pandangannya. Dan tentunya dituntut
bagi serang ibu agar jangan sampai ia bekerja di luar rumah, sementara
anak-anaknya terlantar di dalam rumah tanpa ada yang mengurusi, merawat,
mengawasi dan mendidik mereka, apalagi bila anak-anak tersebut masih
kecil.apabila ada kekungan mohon untuk d tambah menuju kesempurnaan smoga
bermanfaat amin..
§
Ahmad Faizin Zain
Fathurrohman Boleh ja asal di izinkn oleh suami dan jg bisa menempatkn diri sbg
istri dg baik artix ttp mnjalankn kewajiban sbg seorg istri dg baik dan jg ttp
bisa mnjd ibu yg baik bg anak2x cz jaman skrg jd istri klo udh kerja mk suami
dan anakx tdk terurus atau trbengkalai. Lupa diri trhdp kewajiban pokok sbg
istri dan ibu bg anak2x mk hukum istri bekerja tdk dprbolehkn
§
Guslik An-Namiri
Lelaki Diberi Nafkah oleh Istrinya
Hasil Bahtsul Masaail
PP Nurul Hudaa/1999
Di lingkungan
perusahaan kami, pimpinan melarang saya berjilbab, tentu dengan niat bukan untuk
mempertontonkan aurat. Saya berusaha melamar ditempat lain tetapi tidak ada
panggilan. Jika harus berhenti bekerja saya bingung karena saya masih belum
cukup membalas budi orang tua (saya anak angkat) dan saya ingin memberi
pendidikan yang terbaik pada putra-putri nanti. Yang ingin saya tanyakan:
a.Bagaimana hukum
perbuatan saya itu menurut Islam dan langkah apa yang terbaik untuk saya?
b.Lebih baik mana
menjadi wanita karir atau ibu rumah tangga?
c.Andai ada suami yang
menyuruh isterinya bekerja keras karena dua alasan diatas, dengan posisi wanita
seperti saya, apakah wajib dipatuhi?mohon disertai dasar dan penjelasan. Terima
kasih.
Jawaban :
a.Hukum membuka tutup
kepala bagi wanita dewasa untuk kepentingan bekerja, menurut pendapat yang
muktamad (bisa dijadikan pegangan) adalah tetap haram. Menurut pendapat lain
boleh bagi wanita yang keluar untuk jual beli dengan terbuka muka dan kedua
telapak tangannya. Menurut madzhab Hanafi, demikian itu boleh, bahkan dengan
terbuka kakinya, apabila tidak ada fitnah.Langkah yang terbaik untuk anda, jika
ingin menjadi wanita yang shalihah yang berpegang teguh (disiplin) pada ajaran
Islam, anda harus berusaha terus mencari tempat bekerja yang mengizinkan
pegawainya berjilbab sambil memohon kepada Allah. Insya Allah akan berhasil.
b.Ibu rumah tangga
yang berhasil mendidik putra-putrinya menjadi orang yang berguna bagi agama,
nusa dan bangsa, adalah jauh lebih baik daripada wanita karir yang manapun
juga. Sebab menjadikan anak yang berhasil dalam mencapai tujuan hidupnya adalah
jauh lebih mahal daripada gaji seorang presiden sekalipun.
c.Tidak wajib
dipatuhi, sebab patuh kepada seseorang itu diperbolehkan oleh agama dalam
hal-hal yang tidak menyangkut kemaksiatan.
Dasar pengambilan :
Kitab Al Bajuri juz 2
Bab Nikah :
(قَولُهُ
إلَى أجْنَبِيَّةٍ) اى إلَى شَيءٍ مِنْ امْرَأةٍ أجْنَبِيَّةٍ اى غَيْرِ مَحْرَمٍ
وَلَوْ أمَةً. شَمَلَ ذَلِكَ وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا فَيَحْرُمُ النَّظْرُ
إلَيْهِمَا وَلَو مِنْ غَيْرِ شَهْوَةٍ او خُوفِ فِتْنَةٍ عَلَى الصَّحِيْحِ كَمَا
فِى المِنْهَجِ وَغَيْرِهِ إلَى أَنْ قَالَ: وَقِيْلَ لاَ يَحْرُمُ لِقَولِهِ
تَعَالَى: ولاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَهُوَ
مُفَسِّرٌ بِالوَجْهِ وَالكَفَّيْنِ. وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ, وَلاَ بَأسَ
بِتَقْلِيْدِ الثَّانِى لاَ سِيَمًا فِى هَذَا الزَّمَانِ الَّذِى كَثُرَ فِيْه
خُرُوجُ النِّسَآءِ فِى الطُّرُقِ وَالأسْوَاقِ وَشَمَلَ ذَلِكَ ايْضًا شَعْرَهَا
وَظُفْرَهَا.
(Ucapan Mushonnif :
kepada wanita lain ), artinya kepada sesuatu dari wanita lain, yaitu yang bukan
muhrim,meskipun budak belian. Hal itu meliputi mukanya dan kedua telapak
tangannya, sehingga haram memandang muka dan kedua telapak tangan,meskipun
tanpa sahwat atau rasa takut terhadap fitnah,menurut pendapat yang benar
sebagaimana tersebut dalam kitab Al-Minhaj dan lainnya ... sampai pada ucapan
Mushanif: Dan dikatakan: tidak haram berdasar firman Allah ta'ala: "dan
jnganlah para wanita menampakan tempat perhiasan mereka kecuali apa yang nampak
darinya. Apa yang nampak ini ditafsirkan dengan muka dan kedua telapak tangan.
Pendapat yang dapat dipegangi adalah yang pertama.dan tidak berdosa mengikuti
pendapat yang kedua,lebih lebih pada zaman ini yang banyak para wanita keluar
ke jalan-jalan dan pasar. Dan itu juga termasuk rambut kukunya".
Hadist riwayat Imam
Bukhori dari Ibn Umar :
قَالَ السَّمْعُ
وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَالَمْ يُؤْمَرْ بِالمَعْصِيَةِ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ
فَلاَ سُمِعَ وَلاَ طَاعَةَ.
Nabi saw bersabda:
"Mendengarkan dan ketaatan (dari seorang isteri kepada suami, atau dari
seorang murid kepada guru, atau dari rakyat kepada pemerintah... dst.) adalah
wajib, selama tidak diperintah dengan kemaksiatan. Jika diperintah dengan
kemaksiatan, maka tidak wajib mendengarkan dan mentaati.
MUSYAWWIRIN :
Member Group Majlis Ta'lim Assalafiyah ( MATAS
)
PENELITI :
(1). Ustadz Alfin Jayani
(2). Ustadz Ach al faroby
(3). Ustadz Sultoni Arobbi
(4). Ustadzah Naila Mazaya Maya
(5). Ustadz Abu Shafa
(6). Ustadz Abdul Ghafur Masykur
(7). Ustadzah Mariyatul Qibtiyah
(8). Ustad Alan Rush
(9). Ustad Lutfijaya
EDITOR : Ustadz Sultoni Arobbi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar